Kamis, 11 April 2019

Good, Bad, Who Knows?

Gue punya dua cerita tentang topik ini. Ceritanya dari pengalaman gue sendiri, yang mana kedua-duanya merupakan sesuatu yang cukup berperan besar dalam hidup gue (kejadian yang bukan cuma sekadar numpang lewat aja)

1. Ini tentang masuk kuliah. Mulai dari awal sekali setelah gue akhirnya memutuskan akan masuk FK. Langkah paling pertama yang gue lakukan adalah ikut tes beasiswa di UPH. Entah kenapa, gue suka dengan lingkungan UPH ini (dan sampai sekarang pun masih, gue akui) dan di sini, UPH terkenal sebagai kampus mahal. That's why gue coba dulu beasiswanya ini. Jadilah akhirnya gue berangkat ke Jakarta, lalu... gue gagal. 

Gak berhenti sampai di situ, beberapa bulan kemudia gue daftar FK Universitas Maranatha. Ikut ujian tulisnya yang diadakan di sekolah pada hari Minggu dan... gagal lagi.

Selanjutnya apa? Gue ikut SNMPTN undangan. Waktu itu kita peserta diperbolehkan mendaftar dua jurusan di masing-masing universitas, dengan paling banyak masukinnya dua universitas. Tapi karena gue udah bulat maunya pendidikan dokter, jadi gue gak daftar ke jurusan lain. Gue pilih FK UGM sebagai pilihan pertamanya dan FK Unand pilihan kedua. 

Pas pengumuman SNMPTN undangan, gue sedih. Kenapa? Gue ga lulus lagi. Ditambah lagi sedihnya karena temen gue ada yang dapet di FK UI. Dihitung-hitung ini gue sudah gagal 4 kesempatan: UPH, Maranatha, dan dua lagi dari SNMPTN undangan.

Sedih? Pasti. But, I didn't give up. Gue ikut bimbel di Ganesha Operation dekat rumah tiap hari buat persiapan SNMPTN tertulis. Gue inget banget, rela gak ikut jalan-jalan ke Malaysia sama teman-teman SMA, yang waktu itu ditambah lagi ada mantan gue yang ikutan juga DEMI BISA LULUS FK.

Dan... yep, gw akhirnya lulus ke FK Unand.


Sekarang, ketika gue nulis post ini, gue sudah lulus dan bergelar dokter. Gue coba flashback lagi ke masa-masa pendaftaran kuliah dulu dan sekarang gue bersyukur gue gak lulus waktu tes-tes tersebut. Kenapa?

Pertama, kuliah di FK Unand tidak memakan biaya yang banyak. Teman-teman gue di FK-FK swasta bisa menghabiskan total ratusan juta rupiah sampai lulus dengan gelar dokter. Gue? Total uang masuk dan uang semester saja tidak sampai harga satu semester mereka di swasta.

Kedua, untuk melanjutkan sekolah spesialis, lulusan-lulusan negeri lebih banyak diterima daripada swasta. No offense, but admit it. 

Ketiga, FK Unand memiliki akreditasi A. Hanya belasan FK yang berakreditasi A di Indonesia dan ada dua univ yang gue tidak lulus itu akreditasinya belum A.

Keempat, ini bisa jadi pros and cons, sih. Gue jadi tetap tinggal bersama ortu. Orang-orang yang merantau mungkin akan menganggap gue lemah atau anak mami karena lebih senang bersama ortu, but let's see the good things in it. Gue bisa rawat ortu langsung pas mereka sakit, ortu gue gak kebanyakan cemas karena anaknya tinggal sendiri di kota orang, dan gue bisa banyak bantu ortu gue selama tahun-tahun terakhir sebelum akhirnya gue pindah.

2. OK. Sekarang kita lanjut ke cerita ke-2. Gue ikut dua organisasi di saat yang bersamaan waktu kuliah dulu, tapi beda bidang. Satu untuk mahasiswa kedokteran, satunya lagi Pemuda Buddhayana. Pada tahun yang sama ada pemilihan ketua dalam dua organisasi itu. Gue senang di kedua organisasi ini, namun gue rasa akan sulit tentunya untuk menjadi ketua di dua organisasi sekaligus. So, I chose one, the medical organization.

Gue ikut proses pemilihan dan segala macam persiapan tetek bengeknya, sampai gue harus keluar kota selama beberapa hari. But I didn't chosen to be the next officer. Sedih, sih. Gue masih ingat rasanya. Sedih dan kecewa.

Ketika gue memutuskan untuk ikut pemilihan ketua di organisasi mahasiswa ini, gue juga memutuskan untuk mundur dari posisi calon ketua Pemuda Buddhayana karena gue salah satu kandidat kuatnya. Tapi apa? Pada hari Musyawarah Daerah-nya, malam itu juga, yang gue datang ke wihara tanpa ekspektasi apapun, pulangnya sudah dengan jabatan ketua. Gue tekankan lagi ya, MALAM ITU JUGA. Sampai akhirnya berlanjutlah jabatan itu sampai tiga tahun ke depannya.


Sama dengan cerita pertama, gue bersyukur atas tidak terpilihnya gue di pemilihan pertama dan justru terpilih sebagai ketua Pemuda Buddhayana Sumatera Barat. Kenapa? Pertama, di organisasi wihara ini gue bisa berbakti dan mengabdi lebih banyak, karena di sini periode jabatannya selama tiga tahun, sementara masa jabatan di organisasi kampus hanya satu tahun.

Kedua, menurut gue, di sini bonding-nya lebih terasa karena lagi-lagi periode kita tiga tahun. Gue kenal banyak orang dari berbagai usia dari berbagai wihara di berbagai daerah. Sebenarnya ini plus minus juga, ya. Gue yakin di organisasi satunya lagipun gue pasti bakal dapat manfaat-manfaat lainnya. But still, poin pertama tadi yang bikin gue bersyukur banget because I have three years to keep doing more and more.

---

So, those are the stories. Do you see the similarities? Keduanya sama-sama membuat gue mengalami kegagalan yang sebenarnya itu bukan kegagalan, melainkan suatu hal yang... apa, yah... it's like, the greater things will come to you at the right time. Makanya gue buat judul post ini 'Good, Bad, Who Knows?' karena... yah, kita gak pernah tahu suatu hal itu beneran bad atau malah good buat kita. Awalnya gue kira bad, taunya sekarang gue malah bersyukur karena itu sebenarnya good. Do you get my point?

Life often takes unexpected turn, and sometimes it is beyond our control. The great things in life are often unplanned. It's cliche, but it's true! I guess we just gotta put a big smile and try to enjoy every moment of our lives. Stay positive!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar