Rabu, 05 Oktober 2016

Kekeliruan Tentang Agama Buddha (part 2)

Banyak orang, bahkan umat Buddha sendiri yang keliru dalam memahami ajaran Buddha. Beberapa kekeliruan itu terbentuk selain karena pergaulan dalam komunitas tertentu, juga harus disadari karena kita sendiri sebagai umat Buddha terkadang tidak terlalu menaruh perhatian terhadap ajaran mulia ini. Berkat rasa bakti dan pengabdian jutaan umat Buddha di seluruh dunia sejak zaman dulu kala hingga saat ini, agama Buddha berhasil bertahan selama lebih dari 2500 tahun - sebuah usia yang cukup tua bagi sebuah agama -, tetapi yang patut kita perhatikan pula adalah bahwa dalam perkembangannya selama kurun waktu tersebut, ajaran Buddha telah sedikit banyak menerima berbagai akulturasi dan adaptasi yang terkadang bahkan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ajaran Buddha sendiri.

1. Umat Buddha harus menjadi vegetarian

Mungkin pada beberapa tradisi buddhis menjadi vegetarian merupakan suatu kewajiban, tetapi kebanyakan tradisi dan biarawan/biarawati memandang bahwa vegetarianisme sebagai suatu pilihan pribadi dan bukan perintah dalam agama Buddha. 


Dalam teks-teks Pali, Buddha sendiri tidak pernah disebutkan sebagai seorang vegetarian. Para bhikkhu dan termasuk Buddha sendiri, berjalan mengumpulkan dana makanan dan peraturannya adalah bahwa makanan apapun yang diberikan oleh umat awam haruslah diterima dan dimakan, termasuk daging, kecuali apabila bhikkhu tersebut telah mengetahui bahwa daging tersebut dibunuh khusus untuk dipersembahkan kepada bhikkhu, maka bhikkhu dilarang memakan daging tersebut.

2. Ajaran Buddha bukanlah sebuah agama

Sebenarnya pernyataan di atas muncul karena kata "agama" yang didefinisikan secara umum memiliki konsep Ketuhanan yang tunggal, memercayai kitab suci masing-masing, dan biasanya memiliki nabi-nabi penyebar agama. Mengingat syarat-syarat tersebut, tentu saja agama Buddha tidak dapat disebut sebagai agama, tetapi seharusnya kata "agama" lebih luas daripada itu. Definisi agama hanya sebatas sebuah sistem kepercayaan terhadap Tuhan (atau sesosok maha dewa atau dengan sebutan apapun lainnya) dan terhadap isi kitab suci saja tentulah sangat sempit. 

Seharusnya kita mendefinisikan agama dari tujuan awal diciptakannya agama itu dalam komunitas manusia. Yang saya yakini, tujuan awal dari penciptaan sebuah agama adalah demi memberikan arah hidup yang benar bagi manusia, sehingga tercipta perdamaian diri dan perdamaian dunia. Cara hidup atau pedoman hidup itulah yang seharusnya menjadi hal pokok dalam mendefinisikan kata agama. Kalau mau lebih global, kita bisa melihat dari definisi "religion" (bahasa inggris), yakni sebuah sistem kepercayaan berkenaan dengan sebab, sifat/karakteristik, dan tujuan dari alam semesta ini.

Jadi menurut saya, ajaran Buddha sebagai pedoman hidup jelas merupakan sebuah agama. Sebuah agama yang besar yang darinya banyak zaman keemasan muncul di berbagai belahan bumi. Bahkan menurut saya, ajaran Buddha tidak hanya sekedar agama, tetapi juga pedoman hidup, filosofi, ilmu pengetahuan, dan gaya hidup.

3. Ajaran Buddha mengajarkan kita untuk menderita

Jelas ini merupakan kekeliruan besar. Buddha tidak pernah mengajarkan kita untuk hidup menderita. Sebaliknya, tujuan utama Petapa Gotama menjadi seorang Buddha adalah membebaskan manusia dari penderitaan. Pandangan keliru yang mengatakan bahwa ajaran Buddha mengajarkan penderitaan tampaknya berasal dari kekeliruan sebagian orang terhadap butir pertama dari Empat Kesunyataan Mulia, yakni bahwa hidup adalah penderitaan. Sebenarnya apabila kita teliti, kata dukkha kurang tepat diartikan sebagai penderitaan. Lebih tepatnya dikatakan sebagai sesuatu yang tidak memuaskan, sesuatu yang tidak permanen, sesuatu yang cenderung berubah. Jadi, bahkan kebahagiaan maupun kemalangan bisa disebut dukkha karena mereka datang dan pergi setiap saat dalam kehidupan kita.

Lebih dari itu, Buddha tidak hanya mengajarkan bahwa hidup adalah dukkha saja, tetapi juga apa penyebabnya (butir kedua), apakah ada kemungkinan terbebas dari dukkha (butir ketiga), dan bagaimana cara agar terbebas dari dukkha (butir keempat). Dengan demikian, jelaslah bahwa Buddha adalah seseorang yang sangat peduli terhadap kepentingan umat manusia dan ajarannya bukanlah ajaran pesimis, melainkan realistis. 

4. Umat Buddha menjauhi kemelekatan, jadi mereka tidak bisa menjalin hubungan apapun

Ini juga merupakan penyataan keliru yang bahkan sering kali diartikan oleh umat Buddha sendiri. Memang benar Buddha mengajarkan kita untuk tidak melekat, selalu berlatih melepas, tetapi bukan berarti kita dianjurkan untuk tidak memiliki pertalian hubungan dengan siapapun. Menjauhi kemelekatan tidak berkaitan dengan masalah menjalin hubungan. Justru hubungan harus dipelihara dengan baik, hingga pada akhirnya harus berpisah, pun berpisah dengan baik - tidak melekat dan tidak menjadi menderita karenanya.


Menjauhi kemelekatan adalah pada saat kita menerima kondisi yang berbeda (entah itu menyenangkan ataupun tidak menyenangkan), kita sadar bahwa segala sesuatu itu memang tidak ada yang kekal, selalu berubah, dan oleh karena itu, bersedia untuk melepasnya serta menerima kondisi apapun yang terjadi dengan kesadaran.

5. Umat Buddha bersembahyang pada patung Buddha

Jelas ini kekeliruan besar. Dalam kitab Tipitaka, Buddha sendiri menjelaskan bahwa yang kelak akan menggantikan diri-Nya ketika Beliau sudah tiada adalah Dhamma dan Vinaya. Dalam perkembangan awal ajaran Buddha di India pun, umat Buddha masih belum mengenal patung Buddha atau Buddha rupang, bahkan banyak dari para pelajar buddhis dan umat Buddha beranggapan bahwa Buddha Gotama adalah manusia biasa yang kemudian berkat usaha kerasnya sendiri berhasil menemukan pencerahan.


Akan tetapi, bermula dari rasa bakti dan niat baik, umat pun mulai membuat patung-patung Buddha dengan tujuan untuk mengingat kembali kehadiran Beliau di dunia ini dan ajaran - ajaran-Nya, jadi umat Buddha tidak bersembahyang pada patung Buddha karena umat Buddha sama sekali tidak mengidolakan patung Buddha tersebut atau meminta-minta sesuatu pada patung tersebut. Selain itu, bagi para buddhis, patung Buddha juga merepresentasikan sifat ke-Buddhaan yang ada dalam diri setiap makhluk. Dengan menyadari hal ini, maka gambar, patung, atau simbol buddhis apapun bagi para buddhis adalah sebagai objek penghormatan dan pengingat kembali akan ajaran-ajaran Buddha.