Rabu, 21 November 2012

Mestakung (seMESTA menduKUNG)

Beberapa hari yang lalu aku dipinjamkan buku Mestakung oleh temanku. Mulanya berawal dari Bina Widya sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu para pembina dan peserta Bina Widya mengadakan games di Pantai Padang. Temanku ini mengambil segenggam pasir di pantai dan menjatuhkannya secara perlahan sambil mengatakan secara sepintas tentang mestakung. Aku penasaran dan bertanya, lalu dijelaskanlah konsep mestakung ini olehnya. Aku tidak terlalu mengerti kala itu, sampai akhirnya dia pinjamkan saja buku Mestakung ini kepadaku karena menurutnya aku terlalu banyak bertanya, biar bisa dibaca dan pahami sendiri haha.


Sampai postingan ini dibuat, aku sudah membaca dua bab dari 12 bab yang ada dalam buku ini. Kurang lebih aku sudah menangkap inti dari mestakung ini, baik dari yang kubaca maupun dari yang sudah dijelaskan oleh temanku. Ketika kita mencapai suatu kondisi kritis, alam semesta akan mendukung hal-hal yang kita usahakan. Aku berpendapat bahwa ini ada hubungannya dengan kekuatan pikiran. 
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. 
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya, bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya. 

Kutipan di atas merupakan bunyi syair Yamaka Vagga, gatha (1) dan (2) dalam kitab Dhammapada. Menurutku, alam semesta akan bekerja sama mendukung apapun yang kita pikirkan. Pikiranlah yang mempeloporinya. Aku mempunyai beberapa pengalaman pribadi yang kurasa berkaitan dengan kekuatan pikiran. 

Pertama, guru agamaku pernah mengajak aku dan teman-teman lainnya untuk membuktikan kekuatan pikiran. Sebelum tidur, berkonsentrasilah pada jam berapa kita ingin bangun. Misalnya, saat itu aku mencoba untuk bangun jam 5 pagi. Ketika berbaring di tempat tidur, aku benar-benar berkonsentrasi dengan membayangkan jam di mejaku tepat jam 5.00. Sampai kurasa cukup, aku kemudian tidur. Keesokan harinya, aku terbangun tanpa alarm apapun. Kulihat jam di mejaku benar-benar menunjukkan menunjukkan jam 5.00, jarum pendeknya di angka 5 dan jarum panjangnya di angka 12. Bahkan akupun tidak merasa mengantuk setelah bangun waktu itu. 


Kedua, saat aku mengikuti lomba Dhammadesana pada acara Sippa Dhamma Samajja di Bogor tahun 2011. Aku selalu berusaha untuk berpikir bahwa aku akan menjadi juara dari lomba itu. Hari-hari menjelang lomba dan pengumumannya aku membayangkan bahwa aku benar-benar juara dan aku terus berusaha untuk meraihnya. Benar saja, aku mendapat juara harapan I sewaktu pemenang lomba diumumkan hehe.

penampilanku saat lomba Dhammadesana

Banyak lagi pengalaman-pengalaman orang lain yang pernah kudengar dan kubaca yang juga membuktikan adanya kekuatan pikiran ini. Jadi kurasa, mestakung berkaitan erat dengan kekuatan pikiran. Pikiran yang terfokus penuh pada suatu hal, maka alam semestapun akan mendukung untuk mewujudkan hal tersebut. As far, this is my analysis about "mestakung" :)

Senin, 19 November 2012

Cerita DHARMA: Si Ular Tukang Ramal

Di suatu desa, hiduplah sebuah keluarga yang sangat terkenal, mereka adalah keluarga Dharmawangsa. Penghuni keluarga itu sangat ramah dan baik hati, terutama nyonya Dharmawangsa, wanita lanjut usia yang sangat anggun dan welas asih. Bahkan semua orang setuju mengenai hal itu. Nyonya itu sering mengingatkan kepada pelayannya, "Jangan menuang air mendidih atau air panas untuk membersihkan lantai. Ada banyak binatang kecil atau serangga yang dapat terbunuh." Nyonya itu juga selalu mengingatkan anggota keluarga untuk berhati-hati bila berjalan di jalanan, jangan sampai menabrak binatang-binatang. Nyonya itu juga tidak lupa mengingatkan cucu-cucunya untuk tidak main ketapel dan sengaja menyakiti burung-burung yang bersarang di atas pohon. Jadi, baik anggota keluarga yang tua maupun yang muda selalu hidup dalam harmoni dan mendapatkan banyak keuntungan dalam melakukan apa saja. Orang-orang yang berada di sekitar keluarga Dharmawangsa juga merasa nyaman berkumpul dengan mereka.

Pada suatu hari, Braga, putra tertua keluarga Dharmawangsa pergi ke ibukota untuk mengurus bisnis. Setelah urusannya selesai, ia kembali ke desa bersama seorang pelayan pria. Braga membawa pelayan itu untuk membantu pekerjaan di rumah bersama pelayan yang lain. Tentu saja nyonya yang baik hati, menyambut dengan senang hati kedatangan pria itu. Beberapa malam kemudian, nyonya itu bermimpi. Ia bermimpi seekor ular merah datang padanya dan berkata, "Apa kabar nyonya? Apa masih ingat kepada saya? Saya adalah tetangga Anda yang tinggal di dalam gua yang letaknya di halaman belakang rumah Anda yang luas. Sayangnya, saya harus mengungsi dari sana sejak seorang pelayan Anda menuang air mendidih untuk membersihkan taman dan menginjak-injak tanaman walaupun telah dilarang. Saya jadi sedih sekali nyonya, saya diusir dari rumah yang saya bangun sendiri. Saya bingung harus tinggal di mana," kata ular tersebut dengan wajah yang sangat sedih.


Ular tersebut memutar lilitannya ke arah pintu luar, menatap keluar kamar nyonya itu. "Padahal rumah ini sungguh luas dan indah. Saya suka sekali tinggal di gua itu nyonya, Anda juga sangat baik hati, kadang-kadang malah menuangkan makanan di depan rumah saya. Sebagai ucapan terima kasih, saya akan meramal nasib Anda, tapi saya hanya dapat meramal kehidupan Anda beberapa hari ke depan saja."

Tentu saja nyonya itu kebingungan. Ular itu melilitkan badannya dan menjulurkan kepala, seperti sedang memikirkan sesuatu layaknya para tukang ramal. Ia memasang wajah menyesal. "Pelayan pria yang putra Anda bawa beberapa hari yang lalu adalah seorang penjahat, hmm... Ia akan membawa kerugian kepada Anda. Lima hari lagi, ayahnya akan datang berkunjung untuk bersekongkol merampok rumah ini," Lalu nyonya itu terbangun dengan hati yang gundah. Ternyata lima hari kemudian, ayah pelayan itu benar-benar datang. Nyonya itu bersikap sangat berhati-hati. Ia memberikan unag kepada kedua orang itu dan mengatakan tidak membutuhkan pelayan yang terlalu banyak. Sayangnya, ayah pelayan yang terlalu serakah karena melihat rumah keluarga Dharmawangsa yang sangat mewah tidak mengijinkan anaknya untuk pergi. Dari hari ke hari nyonya itu semakin curiga, semakin banyak barang yang hilang. Suatu hari, keluarga Dharmawangsa kedatangan pejabat kecamatan. Ia membawa hadiah yang indah-indah kepada nyonya itu. Karena takut dicuri, nyonya itu menempatkan hadiah-hadiah itu di dalam kamarnya.

Ketika semua orang sudah tidur, pelayan itu membawa pisau untuk merampok nyonya tersebut. Baru saja pelayan itu mengangkat pisaunya, tiba-tiba muncul seekor ular merah yang besar. Ular itu menepis pisau di tangan pelayan itu, lalu melilit seluruh tubuhnya. Pelayan itu ketakutan setengah mati, ular itu seakan hendak melahapnya.

"Sana, aku akan melepaskanmu," kata ular tersebut. Setelah berjanji, pelayan itu lari terbirit-birit meninggalkan rumah dan tak kembali lagi. Beberapa hari kemudian, halaman rumah keluarga Dharmawangsa kembali dihuni oleh berbagai macam binatang kecil dan serangga, serta ular merah yang kembali ke guanya.

Majalah Buddhis Indonesia 
edisi ke-6 tahun 2004 halaman 25

Jumat, 28 September 2012

18 Tahun

Empat hari yang lalu aku genap berusia 18 tahun. Happy birthday Mira! Semoga aku dapat menjadi lebih baik lagi dari tahun-tahun sebelumnya, menjadi kebanggaan orang-orang (khususnya kedua orang tuaku), dan membawa kebahagiaan pada semua makhluk. Sadhu! Sadhu! Sadhu!


Well, banyak yang sudah kulalui selama setahun ini di usia ke-18. Sepertinya salah satu hal yang masih berbekas jelas di bayanganku adalah perjuanganku masuk Pendidikan Dokter di Universitas Andalas Padang. Dan aku akan menceritakannya sedikit di postinganku kali ini.

Sebagai permulaan, aku akan bercerita tentang alasan aku memilih pendok. Sebenarnya, bahkan di awal kelas 3 SMA pun aku masih bingung akan mengambil jurusan apa nantinya. Awalnya aku justru tidak tertarik sama sekali dengan kedokteran karena kuliahnya yang terlalu lama. Aku lebih menaruh minat di jurusan yang berhubungan dengan IT. Namun dengan berbagai masukan yang kudapatkan, juga dengan diskusi dengan kedua orang tuaku aku akhirnya memutuskan untuk memilih kedokteran.

Mengenai universitas, sama halnya dengan jurusan tadi. Aku mati-matian mengatakan kepada kedua orang tuaku bahwa aku sudah tidak mau lagi tinggal di Padang dan ingin mencoba mandiri di luar kota. Entah di kota mana terserah yang penting tidak di Padang, itulah yang kuucapkan mulanya. Sebelum SNMPTN, banyak universitas swasta yang sudah membuka pendaftaran. Aku tertarik, tapi sayangnya biaya kuliah di universitas swasta sangat tidak bersahabat. Saat Edu Fair diadakan di sekolahku aku berusaha mencari universitas yang mempunyai fakultas kedokteran dan menawarkan beasiswa. Malangnya, aku tidak menemukan satupun.

Jujur saja, aku pernah mencoba mendaftar beasiswa olahraga di UPH (tentu saja kedokterannya). Aku bahkan sampai ikut tesnya di UPH itu langsung. Aku berkeliling di sekitar lingkungan UPH setelah tes dan aku begitu mengagumi universitas yang satu ini. Fasilitas yang disediakan sangat lengkap: ada tiga lapangan basket (kalau tidak salah) dan semuanya indoor, kolam renang, lapangan sepak bola, kantin yang bersih, parkir yang luas, dan masih banyak lagi. Aku berharap bisa diterima saat itu, aku sudah berangan-angan ingin berenang di kolam renangnya kala aku memiliki waktu luang. Sayang seribu sayang aku tidak lulus.


Aku kecewa. Sebenarnya lebih tepat dikatakan aku merasa tidak enak dengan orang tuaku dan teman mamaku di Jakarta yang sudah banyak membantu selama di sana. Beberapa alasannya yaitu: biaya tiket pesawat aku dan mamaku PP tidak murah, makan selama di Jakarta, waktu yang sudah dikorbankan untuk ke Jakarta. Tapi kedua orang tuaku berkata tidak apa-apa dan tetap semangat, jangan putus asa.

Beberapa bulan kemudian, aku mendaftar di Universitas Kristen Maranatha Bandung. Sekali lagi aku gagal di tesnya. Memang aku tidak perlu ke Bandung untuk tes (tesnya dilaksanakan di sekolahku), tapi tetap saja aku sedikit memikirkan tentang hal ini karena aku jadi tidak memiliki universitas cadangan seandainya aku tidak lulus di negeri. Bukan hanya itu, aku bahkan juga mencoba undangan Kelas Internasional UI melalui program Talent Scouting! Aku sampai harus tes TOEFL dan membuat essay singkat berbahasa Inggris serta membayar biaya pendaftaran sebesar satu juta rupiah... dan lagi-lagi aku gagal.

Aku juga mendaftar SNMPTN undangan. Saat itu sudah di bulan-bulan akhir aku duduk di kelas 3 SMA dan orang-orang mulai bertanya padaku di mana aku akan kuliah. Sejujurnya aku tidak terlalu menyukai pertanyaan itu karena aku tidak mempunyai jawaban yang pasti. Teman-temanku banyak yang sudah mengambil universitas swasta, jadi mereka telah mendapatkan bayangan yang pasti akan seperti apa suasana kuliah mereka nanti, sementara aku masih terapung-apung di atas ombak yang tidak tahu akan membawaku ke mana.

Di SNMPTN undangan ini aku memilih UGM Yogyakarta dan Unand Padang dengan jurusan yang tetap tidak berubah, pendidikan dokter.
1. Aku memilih UGM karena aku sudah pernah pergi Jogja saat aku masih kelas 1 SMA. Aku menyukai kota itu: biaya hidupnya yang murah, banyaknya pelajar-pelajar dari berbagai kota yang juga kuliah di sana, kenangan-kenangan saat aku ke sana dulu, dan seingatku, aku setidaknya pernah berjanji pada seseorang
yang sudah lebih dulu kuliah daripada aku setahun di sana bahwa aku juga akan menyusulnya ke sana. Orang itu termasuk salah satu kenanganku selama di Jogja dulu :) Selain itu, ada lagi temanku di Jogja yang sudah kuanggap seperti koko aku sendiri, mengatakan bahwa sebaiknya aku kuliah di Jogja saja. Itulah sebabnya aku kemudian memilih UGM pada SNMPTN undangan.
2. Aku memilih Unand sebenarnya lebih karena permintaan orang tua dan teman-temanku di wihara. Dengan berbagai pertimbangan (entah apakah aku memang terbujuk dengan perkataan-perkataan mereka), aku mengambil pendok Unand di pilihan keduaku.

Hasilnya? Tidak.

Aku mulai berpikir, kenapa aku bisa tidak lulus satupun. Lalu aku mengambil sisi positifnya saja, mungkin akan ada yang lebih baik menantiku di depan. Aku mengikuti bimbel di GO sebaik mungkin yang aku bisa. Kelasku di GO dimulai dari jam 8 pagi sampai kurang lebih sekitar jam 10.30. Setelah itu, kadang-kadang aku membahas soal sampai sore. Aku bahkan pernah tidak makan siang demi belajar dengan pengajar-pengajar piketnya. Ada yang mengatakan aku terlalu rajin, tapi aku tidak banyak berpikir tentang ucapan mereka. Mau bagaimana lagi, namanya juga perjuangan. Masa aku tidak lulus (lagi) di SNMPTN tulis. Biarlah. Daripada aku tidak lulus sama sekali, yang penting aku berusaha dulu sekarang, batinku.

Hari-hari aku menunggu pengumuman SNMPTN merupakan hari-hari yang penuh ketegangan dan harapan.
Sehari sebelum pengumuman dikeluarkan aku bermimpi. Entah karena aku terlalu memikirkan pengumuman kelulusan itu atau apa, dalam mimpi tersebut aku diterima di Unand. Aku melonjak kegirangan. Saat aku bertanya pada teman-temanku bagaimana hasil SNMPTN mereka, salah satu temanku yang sangat pintar di sekolah tidak lulus satupun.

Aku ingat sekali hari itu hari Jumat dimana pengumuman akan keluar melalui internet jam 7 malam. Ketika itu aku sedan di perjalanan pulang dari latihan renang di Air Dingin, Lubuk Minturun. Biasanya aku yang bawa mobil, tapi karena saat itu aku akan mengecek kelulusanku via BB, papakulah yang bawa mobil di perjalanan pulang.

Beberapa kali websitenya error. Kurasa karena terlalu banyak yang mengakses waktu itu. Dan ketika akhirnya aku melihat garis loading mulai berjalan, aku deg-degan setengah mati. Pada SNMPTN tulis ini aku mendaftar di pendok Unand dan pendok Unri. Aku sungguh ingin berharap ingin diterima di Unand. Begitu aku melihat tulisan lulus, aku sangat senang sekaligus tegang. Di mana aku diterima? Dan saat aku menggeser layarnya ke bawah, mataku langsung tertuju ke tulisan Universitsa Andalas. Aku langsung berteriak! Papaku yang sedang bawa mobil sampai kaget.


Papa yang mendengar berita itu juga ikut senang. Aku segera menelepon mamaku dan memberi tahu kabar baik tersebut. Sesampainya di rumah, begitu papaku bertemu dengan mama, papa menitikkan air mata bahagia! Sungguh, aku juga ikut terharu melihatnya. Tidak ada yang selalu setia mendukungku dan menyemangatiku selama ini selain mereka berdua tentunya. Itu merupakan kebahagiaan yang tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata bagaimana rasanya.


Begitulah. Sampai saat ini aku masih merasa berterima kasih dengan kegagalan-kegagalanku sebelumnya. Apalagi biaya kuliah yang lulus SNMPTN di Unand ini sangat murah. Bayangkan jika aku diterima di UPH atau Maranatha, berapa pula biaya yang harus aku keluarkan: biaya hidup, biaya kuliah, kos, jajan, dsb. Sungguh-sungguh berterima kasih untuk semuanya :') Oh ya, soal mimpi itu, ternyata temanku yang sangat pintar tersebut memang tidak lulus SNMPTN tertulis. Kesimpulannya, aku merasa mimpiku seperti pertanda yang tepat haha.

Sebagai salah bentuk ungkapan syukurku, aku menyumbangkan dana ke Yayasan Ehipassiko serta berdana untuk kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di wihara. Dan tidak lupa, aku juga melimpahkan jasa-jasa kebaikan itu untuk semua makhluk agar dapat terlahir di alam yang berbahagia. Sadhu.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitattaa

Baiklah. Jika tadi aku bercerita tentang hal mengesankan yang terjadi selama setahun terakhir, sekarang aku ingin membahas tentang ucapan-ucapan selamat ulang tahun yang diberikan padaku tanggal 24 September kemarin. Terserah aku kan kalau postingan ini jadi begitu panjang dengan cerita-ceritaku, kan suka-suka aku hahaha.

Untuk seseorang yang mengucapkan selamat ulang tahun padaku bahkan ketika jam di BB ku belum menunjukkan jam 12 tepat menuju 24 September (yah walaupun hanya satu atau dua menit lebih cepat sih hehe).
" ... Semoga kita dapat bekerja sama dengan baik dalam memajukan ... Bahagia dan membahagiakan semua ... "

Berhubung kurasa orang yang bersangkutan juga tidak akan membaca postingan ini, jadi aku akan terbuka saja hehe. Aku berharap kita berdua dapat bekerja sama dengan baik tentunya. Bukan hanya kita berdua, tapi kita semua. Hanya saja, sebenarnya aku bahkan menginginkan lebih dari sekadar kerja sama yang baik, melainkan sangat baik, baik sekali, terlalu baik, atau kata-kata lain yang mengungkapkan hal serupa. Mengertikah maksudku? Bisakah itu? Tahukah kamu, bahwa sebenarnya dirimu juga termasuk alasan kenapa aku akhirnya memutuskan untuk kuliah di Unand?

Untuk orang yang berbeda.
"Happy B Day mir. Wish u all the best. GBU."

Sejujurnya aku berharap lebih daripada kata-kata itu. Entahlah. Gambar, voicenote, apapun. Aku merasa ada yang berubah. Aku menganggap gambar dolphin ini sebagai buktinya, bukti keakraban yang dulu pernah ada di antara kita sekarang seperti memudar, seperti ada jarak.

Aku menyukai voicenote dari salah satu temanku. Sayang sekali aku tidak bisa meng-upload voicenote itu di post ini (atau aku yang tidak tau caranya), tapi bunyinya kurang lebih seperti ini:
"Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday happy birthday. Happy birthday Mira. Selamat ulang tahun Mira! Semoga panjang umur, sehat-sehat, kuliahnya lancar. Semoga cepat dapat jodoh, terus... Apa ya? Ya pokoknya cepat tamat kuliah deh, biar gua bisa dapat pengobatan gratis kalau lagi sakit hehe ... "

Kata-kata cepat dapat jodoh itu berkesan bagiku. Haha. Sudah 3 tahun. Lama ya? Haha.

Well, kurasa itu saja dulu. Terima kasih untuk kedua orang tuaku yang sudah membesarkanku selama ini serta terima kasih kepada alam semesta yang sudah menjadikanku seperti saat ini. Happy 18th birthday to me :)

Sabtu, 08 September 2012

Nasihat Bijak Einstein Tentang Hidup

Dua hari yang lalu aku membaca sebuah postingan di terselubung.blogspot.com yang berjudul "7 Nasehat Bijak Einstein Tentang Hidup Sukses di Dunia". Di antara tujuh nasehat yang diuraikan tersebut, ada dua poin yang menarik perhatianku. Jangan tanya kenpaka karena aku hanya menyukai dua hal itu saja hehe.


  • "Seseorang yang tidak pernah membuat kesalahan sebenarnya tak pernah mencoba sesuatu yang baru." 
Nasihat yang diberikan Einstein ini biasanya aku hayati saat akan melakukan hal-hal baru agar aku tidak terlalu takut untuk melakukannya. Biasanya aku akan berkata kepada diriku sendiri bahwa kesalahan di kali pertama itu wajar dan belajarlah dari hal tersebut agar tidak terulang lagi untuk selanjutnya.  
Einstein tak pernah takut dengan kesalahan, tak perlu alergi dengan kesalahan. Catat baik-baik, KESALAHAN bukan KEGAGALAN.
Dua hal tadi berbeda. Kesalahan-kesalahan dapat membantu Anda menjadi lebih baik, lebih cepat, lebih cerdas jika Anda menggunakannya dengan tepat tentunya.
Carilah sesuatu yang baru (something new) dari kesalahan Anda. Seperti sudah dibilang sebelumnya, jika ingin sukses, belajar lebih banyak dari kesalahan Anda. 

  •  "Saya tak pernah memikirkan masa depan - itu akan datang sesaat lagi."
Nasihat ini sangat sesuai dengan Dhamma, ajaran Buddha, tentang konsep kekinian. Kita kebanyakan terseret dalam pengalaman masa lalu atau terhempas ke masa depan yang belum datang. Padahal yang lalu sudah berlalu, tidak nyata, sedangkan yang akan datang belum tiba. Satu-satunya saat yang sebenarnya kita hidup adalah saat ini. Masalahnya kita lebih sering hidup tidak dalam kekinian, walaupun sebenarnya kita bisa melakukannya. Karena kita sering hidup hidup di masa lalu dan masa depan, kita menjadi menderia. 
Satu-satunya jalan agar hidup Anda baik di masa depan adalah hidup dengan baik pada saat sekarang. Ah, lagi-lagi nasihat bijak untuk menyikapi waktu dengan tepat oleh pakar fisika quantum Einstein.
Sangat tak mungkin mengubah kemarin karena semua sudah terjadi. Yang bisa Anda lakukan sekarang adalah mengubah cara pandang Anda saat ini tentang kemarin agar menjadi lebih baik. 

Anda juga tidak bisa mengubah besok menjadi lebih baik, kecuali jika Anda melakukan yang terbaik pada saat ini. Masalahnya hanya tentang waktu dan waktu tidak pernah kemana-mana kok. 
Diadapatasi dari
http://terselubung.blogspot.com/2012/09/7-nasehat-bijak-einstein-tentang-hidup.html 

Kamis, 16 Agustus 2012

Anak yang Dapat Berbicara dengan Lumba-Lumba

Ada salah satu kisah dari Chicken Soup for the Teenage Soul yang menarik minatku. Tau kenapa? Sebab kisah ini menceritakan tentang seekor lumba-lumba, binatang yang kusukai hehe :) Karena makna dari ceritanya juga bagus, aku berniat men-share-nya di blogku (setelah sekian lama tidak sempat nge-blog lagi) So, this is the story...

Anak yang Dapat Berbicara
dengan Lumba-Lumba

Dari yang kita peroleh, kita dapat menghidupi diri kita,
namun yang kita berikan dapat menciptakan kehidupan
- Arthur Ashe -

Kejadian itu dimulai dengan suara ribut, memecahkan kesunyian menjelang subuh. Dalam beberapa menit pada pagi hari di bulan Januari 1994, daerah Los Angeles dicengkeram salah satu gempa bumi yang paling merusak dalam sejarahnya.

Di taman ria Six Flags Magic Mountain, 30 km di sebelah utara kota, tiga ekor lumba-lumba berada sendirian dicekam rasa takut. Mereka berenang dengan panik berputar-putar, sementara pilar-pilar beton yang berat roboh di sekitar kolam mereka dan genteng-genteng tercebut ke air.

Sekitar 60 km di selatannya, Jeff Siegel yang berusia 26 tahun terlempar dari tempat tidurnya, jatuh terjerembab. Sambil merangkak ke jendela, Jeff melihat ke luar, ke kota yang bergetar, dan dia teringat pada makhluk yang sangat berarti baginya, melebihi hal lain di dunia ini. Aku harus menemui lumba-lumba itu, katanya pada diri sendiri. Mereka dulu menyelamatkanku, dan sekarang mereka memerlukanku untuk menyelamatkan mereka. 

Untuk orang yang mengenal Jeff sejak kecil, tentu tak akan terbayangkan Jeff sebagai pahlawan.

Jeff Siegel dilahirkan hiperaktif, setengah tuli, dan tak memiliki koordinasi tubuh yang normal. Karena ia tak dapat mendengar kata-kata dengan baik, pengucapannya sering terganggu dan orang lain sulit memahami perkataannya. Sebagai balita, anak kecil yang rambutnya berwarna keperakan itu diejek dengan sebutan "si abnormal" oleh anak-anak lain. 

Rumah pun bukan tempat pelarian. Ibu Jeff tak siap menangani masalah Jeff. Karena dibesarkan di rumah tangga yang otoriter dan kaku, ia terlalu tegas dan sering marah-marah atas kelainan anaknya. Ibu Jeff hanya ingin agar anaknya dapat bergaul. Ayahnya, seorang polisi di lingkungan Torrance di kalangan kelas menengah Los Angeles, mempunyai pekerjaan lain untuk membiayai hidup keluarganya dan sering tak ada di rumah sampai 16 jam setiap hari.

Karena cemas dan takut pada hari pertamanya di TK, Jeff yang berusia lima tahun memanjat pagar halaman sekolah dan lari pulang. Dengan marah, ibunya menyeretnya kembali ke sekolah dan memaksanya meminta maaf pada gurunya. Seluruh kelas mendengarnya. Dengan susah payah Jeff dipaksa mengulangi mengucapkan kata-kata yang salah ucap dan sulit dimengerti. Dan ia pun menjadi mangsa empuk untuk teman-teman sekelasnya. Untuk menyingkir dari dunia yang memusuhinya, Jeff menyendiri di sudut taman bermain dan bersembunyi dalam kamarnya di rumah, memimpikan tempat yang dapat menerimanya. 

Lalu, suatu hari, saat Jeff berusia sembilan tahun, ia pergi bersama teman-temannya kelas 4 SD ke Los Angeles Marineland. Pada pertunjukan lumba-lumba, ia terpesona oleh energi dan keramahan hewan yang indah itu. Mereka seperti tersenyum langsung kepadanya, sesuatu yang jarang terjadi dalam hidupnya. Anak itu terpana, penuh emosi dan keinginan untuk tetap di situ.

Hingga akhir tahun ajaran, guru Jeff telah menandainya sebagai anak yang terganggu emosinya dan cacat mental. Tapi, ujian akhir di Center Switzer untuk anak-anak cacat menunjukkan Jeff anak yang di atas rata-rata, namun karena gugup, nilai uji matematikanya menunjukkan ia hampir cacat mental. Ia dipindahkan dari sekolah negeri ke Center. Selama dua tahun berikutnya, kegugupannya semakin berkurang dan prestasi belajarnya meningkat drastis. 

Pada awal kelas tujuh ia kembali ke sekolah negeri, dengan terpaksa. Hasil ujiannya sekarang menunjukkan IQ 130-an, nilai anak berbakat. Dan bertahun-tahun terapi telah memperbaiki pengucapannya. Tapi, bagi teman-teman sekelasnya, Jeff masih merupakan yang sama.

Kelas tujuh ternyata merupakan tahun terburuk dalam kehidupan Jeff - hingga hari waktu ayahnya mengajaknya ke Sea World di San Diego. Begitu anak itu melihat lumba-lumba, kebahagiaan langsung menenggelamkan dirinya. Ia terpancang di tempat itu sementara mamalia licin itu berenang melintasinya.

Jeff bekerja dan menabung uangnya untuk membeli tiket tahunan ke Marineland, yang lebih dekat ke rumahnya. Pada kunjungan pertamanya seorang diri, ia duduk di dinding rendah yang mengelilingi kolam lumba-lumba. Lumba-lumba itu, karena sudah terbiasa diberi makan oleh pengunjung, tak lama kemudian menghampiri anak yang terpesona itu. Yang mula-mula berenang menghampirinya adalah Grid Eye, seekor lumba-lumba betina yang sangat menonjol dalam kolam itu. Lumba-lumba seberat 300-an kg itu berenang ke tempat Jeff duduk dan berhenti tanpa bergerak di bawahnya. Maukah ia kusentuh? Jeff bertanya-tanya sambil mencelupkan tangannya ke dalam air. Saat ia membelai kulit halus lumba-lumba itu, Grid Eye beringsut mendekat. Saat itu adalah kebahagiaan yang tak terhingga bagi anak itu. 



Hewan-hewan ramah itu cepat menjadi teman yang belum pernah dipunyai Jeff, dan karena daerah lumba-lumba terpencil di ujung Marineland, Jeff sering sendirian bersama makhluk yang senang bermain itu. 

Suatu hari, Sharky, seekor lumba-lumba betina, berenang sedikit di bawah permukaan sampai ekornya berada dalam tangan Jeff. Ia berhenti. Sekarang apa? Tanya Jeff. Mendadak Sharky menyelam 30 cm ke dalam kolam, menarik tangan Jeff ke bawah air. Jeff tertawa dan menariknya tanpa mau melepaskannya. Lumba-lumba itu menyelam lagi, lebih dalam. Jeff menarik lebih kuat. Jadinya seperti permainan tarik tambang saja.

Waktu Sharky muncul di permukaan untuk bernapas, si anak dan si lumba-lumba berhadapan untuk beberapa saat, Jeff tertawa dan lumba-lumba itu terbuka mulutnya dan nyengir. Lalu Sharky berputar dan menaruh ekornya kembali ke tangan Jeff dan memulai permainan itu lagi. 

Jeff dan hewan seberat 150 sampai 400 kg itu sering bermain kucing-kucingan, mereka berlomba mengitari kolam untuk memukul sebuah titik yang ditentukan sebelumnya di tepi kolam atau menepukkan tangan dan sirip. Bagi Jeff, permainan ini merupakan hubungan ajaib yang dimilikinya dengan hewan-hewan itu.

Bahkan saat jumlah penonton musim panas mencapai 500 orang di sekitar kolam, makhluk ramah itu tetap mengenali teman mereka dan berenang ke arahnya setiap kaliia menggoyankan tangannya di dalam air. Sikap lumba-lumba yang menerima Jeff memperbaiki rasa percaya dirinya, dan perlahan-lahan ia keluar dari kehidupannya yang gelap. Ia mendaftarkan diri mengikuti kursus di akuarium dekat situ dan melahap buku tentang biologi air. Ia menjadi ensiklopedia berjalan mengenai lumba-lumba dan, yang membuat keluarganya terheran-heran, pengucapannya tidak terganggu lagi, dan dia menjadi pemandu tur sukarela.

Pada tahun 1983, Jeff menulis artikel untuk buletin American Cetacean Society, menceritakan pengalamannya dengan lumba-lumba Marineland. Ia tidak siap untuk menghadapi kejadian berikutnya. Karena merasa malu bahwa Jeff bisa bermain begitu leluasanya dengan lumba-lumba milik mereka tanpa sepengetahuan pengelola taman hiburan itu, pimpinan Marineland membatalkan tiketnya. Jeff terpaksa pulang dengan rasa tak percaya.

Sementara itu, orangtua Jeff merasa lega. Mereka tak melihat ada keuntungan apa pun bagi anak aneh mereka itu dari seringnya ia bermain dengan lumba-lumba, sampai pada suatu hari di bulan Juni 1984 saat Bonnie Siegel menerima telepon interlokal yang tak terduga. Sore itu ia bertanya pada anaknya, "Kamu mengikuti lomba?"

Dengan malu-malu, Jeff mengaku bahwa ia telah menulisa sebuah esai untuk beasiswa Earthwatch yang banyak diincar orang, bernilai lebih dari $2000. Pemenangnya akan pergi selama sebulan ke Hawaii bersama ahli lumba-lumba. Sekarang, dengan menceritakan pada ibunya tentang hal itu, ia mengira akan dimarahi. Namun, ibunya hanya berkata perlahan, "Kamu menang."

Jeff sangat bahagia Yang paling menyenangkannya, itulah saat pertama kali orangtuanya menyadari bahwa ia mungkin dapat meraih impiannya untk menyebarkan kecintaannya akan lumba-lumba kelak.

Jeff menghabiskan waktu sebulan di Hawaii, mengajari lumba-lumba sederet perintah untuk menguji ingatan mereka. Pada musim gugur, ia memenuhi syarat lain beasiswa itu dengan berceramah mengenai mamalia air kepada teman-temannya di SMU Torrance. Ceramah Jeff begitu bersemangat sehingga akhirnya teman-temannya menghormatinya.

Setelah wisuda, Jeff berusaha mencari pekerjaan dalam penelitian laut. Ia terpaksa bekerja sambilan untuk menambah penghasilannya yang rendah. Ia juga meraih gelar associate dalam bidang biologi.

Pada bulan Februari 1992, ia datang ke kantor Suzanne Fortier, direktur pelatihan hewan laut di Six Flags Magic Mountain. Meskipun memiliki dua pekerjaan, ia ingin bekerja sukarela dengan lumba-lumba Magic Mountain pada hari liburnya. Fortier memberinya kesempatan - dan ia langsung terkesan. Dari 200 sukarelawan yang dilatihnya selama 10 tahun, ia belum pernah melihat orang yang memiliki kemampuan intuitif dengan lumba-lumba seperti Jeff.

Pada suatu kejadian, krunya harus memindahkan lumba-lumba sakit seberat 300 kg bernama Thunder ke taman lain. Hewan ini harus dipindahkan dalam tangki sebesar tiga kali satu meter. Selama perjalanan, Jeff mendesak untuk masuk dalam tangki Thunder, mencoba menenangkan hewan yang gugup itu. Waktu Fortier kemudian menelepon dari tempat penumpang truk untuk menanyakan keadaan Thunder, Jeff menjawab, "Dia baik-baik saja sekarang. Aku sedang membuainya." Jeff benar-benar berada dalam tangki bersama Thunder! Fortier menyadari hal itu. Selama empat jam, Jeff mengapung di dalam tangki yang dingin, memeluk Thunder. 

Jeff terus memesona rekan kerjanya dengan keserasiannya bersama hewan-hewan itu. Favoritnya di Magic Mountain adalah Katie, seekor lumba-lumba berusia 8 tahun seberat 175 kg, yang menyapanya dengan ramah dan berenang bersamanya berjam-berjam.

Sekali lagi, seperti di Marineland, Jeff berinteraksi dengan lumba-lumba dan mendapatkan kasih sebagai balasannya. Tak diketahuinya bahwa rasa cintanya akan mengalami ujian berat.

Saat Jeff berjuang mencapai Magic Mountain pada pagi hari saat gempa bumi itu, jalan tol roboh dan jalanan yang berlubang sering memaksanya memutar balik. Tak ada yang bisa menghalangiku, sumpahnya.

Saat Jeff akhirnya sampai di Magic Mountain, air dalam kolam lumba-lumba sedalam 4 meter sudah surut setengahnya, dan lebih banyak lagi bocor melalui retakan di satu sisi. Tiga lumba-lumba yang berada di situ saat gempa dimulai - Wally, Teri, dan Katie - panik. Jeff turun ke kedalaman 2 meter dan mencoba menenangkan mereka. 

Untuk menenangkan lumba-lumba itu selama getaran yang terus-menerus, Jeff mencoba mengalihkan perhatian mereka dengan bermain, tapi itu tidak berhasil. Lebih buruk lagi, ia harus mengurangi makanan mereka: Sistem penyaringan kolam berhenti, menciptakan risiko tambahan karena penimbunan kotoran tubuh mereka dapat semakin mengotori air dalam kolam.

Jeff tetap bersama mereka malam itu sementara suhu turun hingga 0°C. Ia masih di situ pada hari berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya lagi.

Pada hari keempat, jalan dibuka, dan petugas menyiapkan sebuah truk untuk memindahkan Wally, Teri, dan Katie ke kolam lumba-lumba di Knott's Berry Farm. Tapi pada awalnya, seseorang harus memindahkan mereka ke dalam tangki pengangkutnya. Memindahkan lumba-lumba biasanya adalah prosedur yang sudah rutin, setelah hewan itu dengan aman dituntun melalui terowongan dan diangkat dalam buaian kanvas. Tapi, tinggi air dalam terowongan penghubung terlalu rendah untuk bisa direnangi hewan itu. Ketiga lumba-lumba harus ditangkap dalam air terbuka lalu dipindahkan ke dalam buaian kanvas.

Petugas Etienne Fracois dan Jeff menawarkan diri untuk pekerjaan itu. Meskipun ia percaya pada lumba-lumba, Jeff tahu bahwa kemungkinan ia cedera atau digigit dalam penangkapan air terbuka itu hampir 100 persen.

Wally dengan mudah diangkat dari kolam, tapi Teri dan Katie menjadi liar. Setiap kali Jeff dan Etienne mendekati Katie, lumba-lumba yang kuat itu mengusir mereka dengan paruhnya yang keras dan runcing.

Hampir 40 menit kemudian mereka berusaha sementara Katie memukul dan mendorong mereka dengan ekornya. Akhirnya, tepat sebelum mereka memindahkannya ke dalam buaian, ia menancapkan giginya yang setajam jarum pada tangan Jeff. Tanpa mempedulikan lukanya, Jeff membantu menangkap Teri dan mengangkatnya ke dalam tangki pengangkutan.

Saat lumba-lumba mencapai Knott's Betty Farm, Katie sudah lelah, tapi tenang. Setelah itu, Fortier memberitahu teman-temannya bahwa keberanian dan kepemimpinan Jeff sangat berperan dalam pemindahan lumba-lumba itu dengan aman.

Sekarang Jeff adalah pelatih lumba-lumba di Marine Animal Production di Gulfprot, Mississippi, tempat ia mengorganisasi program untuk sekolah-sekolah.

Suatu hari, sebelum ia berangkat ke Mississippi, Jeff memberikan acara demonstrasi kepada 60 anak dari Switzer Center di salah satu akuarium yang pernah menjadi tempatnya mengajar. Ia melihat bahwa seorang anak bernama Larry menyelinap untuk bermain sendiri. Menyadari bahwa Larry adalah anak yang tersingkir, sama seperti dirinya, Jeff memanggilnya ke depan dan meminta anak itu berdiri di sebelahnya. Lalu Jeff mencelupkan tangannya ke tangki yang dekat dan mengangkat seekor ikan hiu yang mengesankan yang panjangnya semeter yang tak berbahaya. Sementara anak-anak lain terkesiap, ia membolehkan Larry memangku makhluk yang basah itu dengan bangga mengitari ruangan. 

Setelah babak itu selesai, Jeff menerima sebuah surat yang bertulisan: "Terima kasih atas demonstrasi yang luar biasa bagi anak-anak kami. Mereka pulang dengan mata berbinar-binar, sangat menikmati pengalaman itu. Beberapa anak bercerita tentang Larry yang menggendong ikan hiu. Itu mungkin saat yang paling bahagia dan membanggakan dalam hidupnya. Kenyataan bahwa Anda pernah menjadi murid di sekolah ini menambah nilai plus itu. Anda adalah model harapan bahwa mereka juga dapat 'berhasil' dalm hidup." Surat itu dari Janet Switzet, pendiri Center.

Bagi Jeff, sore itu menghadirkan saat yang lebih menyenangkan lagi. Saat ia berbicara, ia melihat ibu dan ayahnya di antara penonton, memandangnya dengan penuh perhatian. Dari raut wajah mereka, Jeff mengetahui bahwa akhirnya mereka bangga akan anak mereka.

Jeff belum pernah berpenghasilan lebih dari $14.800 setahun dalam hidupnya, tapi ia menganggap dirinya orang yang kaya dan yang sangat beruntung. "Saya benar-benar puas," katanya. "Lumba-lumba memberikan banyak hal untukku saat aku masih kecil. Mereka memberikan cinta tanpa pamrih. Kalau aku memikirkan tentang utangku pada mereka..." Suaranya menghilang sesaat, dan ia tersenyum. "Mereka memberiku hidup. Aku berutang segalanya pada mereka."

Paula McDonald

Dikutip dari Chicken Soup for the Teenage Soul,

halaman  226-235