Rabu, 21 November 2012

Mestakung (seMESTA menduKUNG)

Beberapa hari yang lalu aku dipinjamkan buku Mestakung oleh temanku. Mulanya berawal dari Bina Widya sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu para pembina dan peserta Bina Widya mengadakan games di Pantai Padang. Temanku ini mengambil segenggam pasir di pantai dan menjatuhkannya secara perlahan sambil mengatakan secara sepintas tentang mestakung. Aku penasaran dan bertanya, lalu dijelaskanlah konsep mestakung ini olehnya. Aku tidak terlalu mengerti kala itu, sampai akhirnya dia pinjamkan saja buku Mestakung ini kepadaku karena menurutnya aku terlalu banyak bertanya, biar bisa dibaca dan pahami sendiri haha.


Sampai postingan ini dibuat, aku sudah membaca dua bab dari 12 bab yang ada dalam buku ini. Kurang lebih aku sudah menangkap inti dari mestakung ini, baik dari yang kubaca maupun dari yang sudah dijelaskan oleh temanku. Ketika kita mencapai suatu kondisi kritis, alam semesta akan mendukung hal-hal yang kita usahakan. Aku berpendapat bahwa ini ada hubungannya dengan kekuatan pikiran. 
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya. 
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya, bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya. 

Kutipan di atas merupakan bunyi syair Yamaka Vagga, gatha (1) dan (2) dalam kitab Dhammapada. Menurutku, alam semesta akan bekerja sama mendukung apapun yang kita pikirkan. Pikiranlah yang mempeloporinya. Aku mempunyai beberapa pengalaman pribadi yang kurasa berkaitan dengan kekuatan pikiran. 

Pertama, guru agamaku pernah mengajak aku dan teman-teman lainnya untuk membuktikan kekuatan pikiran. Sebelum tidur, berkonsentrasilah pada jam berapa kita ingin bangun. Misalnya, saat itu aku mencoba untuk bangun jam 5 pagi. Ketika berbaring di tempat tidur, aku benar-benar berkonsentrasi dengan membayangkan jam di mejaku tepat jam 5.00. Sampai kurasa cukup, aku kemudian tidur. Keesokan harinya, aku terbangun tanpa alarm apapun. Kulihat jam di mejaku benar-benar menunjukkan menunjukkan jam 5.00, jarum pendeknya di angka 5 dan jarum panjangnya di angka 12. Bahkan akupun tidak merasa mengantuk setelah bangun waktu itu. 


Kedua, saat aku mengikuti lomba Dhammadesana pada acara Sippa Dhamma Samajja di Bogor tahun 2011. Aku selalu berusaha untuk berpikir bahwa aku akan menjadi juara dari lomba itu. Hari-hari menjelang lomba dan pengumumannya aku membayangkan bahwa aku benar-benar juara dan aku terus berusaha untuk meraihnya. Benar saja, aku mendapat juara harapan I sewaktu pemenang lomba diumumkan hehe.

penampilanku saat lomba Dhammadesana

Banyak lagi pengalaman-pengalaman orang lain yang pernah kudengar dan kubaca yang juga membuktikan adanya kekuatan pikiran ini. Jadi kurasa, mestakung berkaitan erat dengan kekuatan pikiran. Pikiran yang terfokus penuh pada suatu hal, maka alam semestapun akan mendukung untuk mewujudkan hal tersebut. As far, this is my analysis about "mestakung" :)

Senin, 19 November 2012

Cerita DHARMA: Si Ular Tukang Ramal

Di suatu desa, hiduplah sebuah keluarga yang sangat terkenal, mereka adalah keluarga Dharmawangsa. Penghuni keluarga itu sangat ramah dan baik hati, terutama nyonya Dharmawangsa, wanita lanjut usia yang sangat anggun dan welas asih. Bahkan semua orang setuju mengenai hal itu. Nyonya itu sering mengingatkan kepada pelayannya, "Jangan menuang air mendidih atau air panas untuk membersihkan lantai. Ada banyak binatang kecil atau serangga yang dapat terbunuh." Nyonya itu juga selalu mengingatkan anggota keluarga untuk berhati-hati bila berjalan di jalanan, jangan sampai menabrak binatang-binatang. Nyonya itu juga tidak lupa mengingatkan cucu-cucunya untuk tidak main ketapel dan sengaja menyakiti burung-burung yang bersarang di atas pohon. Jadi, baik anggota keluarga yang tua maupun yang muda selalu hidup dalam harmoni dan mendapatkan banyak keuntungan dalam melakukan apa saja. Orang-orang yang berada di sekitar keluarga Dharmawangsa juga merasa nyaman berkumpul dengan mereka.

Pada suatu hari, Braga, putra tertua keluarga Dharmawangsa pergi ke ibukota untuk mengurus bisnis. Setelah urusannya selesai, ia kembali ke desa bersama seorang pelayan pria. Braga membawa pelayan itu untuk membantu pekerjaan di rumah bersama pelayan yang lain. Tentu saja nyonya yang baik hati, menyambut dengan senang hati kedatangan pria itu. Beberapa malam kemudian, nyonya itu bermimpi. Ia bermimpi seekor ular merah datang padanya dan berkata, "Apa kabar nyonya? Apa masih ingat kepada saya? Saya adalah tetangga Anda yang tinggal di dalam gua yang letaknya di halaman belakang rumah Anda yang luas. Sayangnya, saya harus mengungsi dari sana sejak seorang pelayan Anda menuang air mendidih untuk membersihkan taman dan menginjak-injak tanaman walaupun telah dilarang. Saya jadi sedih sekali nyonya, saya diusir dari rumah yang saya bangun sendiri. Saya bingung harus tinggal di mana," kata ular tersebut dengan wajah yang sangat sedih.


Ular tersebut memutar lilitannya ke arah pintu luar, menatap keluar kamar nyonya itu. "Padahal rumah ini sungguh luas dan indah. Saya suka sekali tinggal di gua itu nyonya, Anda juga sangat baik hati, kadang-kadang malah menuangkan makanan di depan rumah saya. Sebagai ucapan terima kasih, saya akan meramal nasib Anda, tapi saya hanya dapat meramal kehidupan Anda beberapa hari ke depan saja."

Tentu saja nyonya itu kebingungan. Ular itu melilitkan badannya dan menjulurkan kepala, seperti sedang memikirkan sesuatu layaknya para tukang ramal. Ia memasang wajah menyesal. "Pelayan pria yang putra Anda bawa beberapa hari yang lalu adalah seorang penjahat, hmm... Ia akan membawa kerugian kepada Anda. Lima hari lagi, ayahnya akan datang berkunjung untuk bersekongkol merampok rumah ini," Lalu nyonya itu terbangun dengan hati yang gundah. Ternyata lima hari kemudian, ayah pelayan itu benar-benar datang. Nyonya itu bersikap sangat berhati-hati. Ia memberikan unag kepada kedua orang itu dan mengatakan tidak membutuhkan pelayan yang terlalu banyak. Sayangnya, ayah pelayan yang terlalu serakah karena melihat rumah keluarga Dharmawangsa yang sangat mewah tidak mengijinkan anaknya untuk pergi. Dari hari ke hari nyonya itu semakin curiga, semakin banyak barang yang hilang. Suatu hari, keluarga Dharmawangsa kedatangan pejabat kecamatan. Ia membawa hadiah yang indah-indah kepada nyonya itu. Karena takut dicuri, nyonya itu menempatkan hadiah-hadiah itu di dalam kamarnya.

Ketika semua orang sudah tidur, pelayan itu membawa pisau untuk merampok nyonya tersebut. Baru saja pelayan itu mengangkat pisaunya, tiba-tiba muncul seekor ular merah yang besar. Ular itu menepis pisau di tangan pelayan itu, lalu melilit seluruh tubuhnya. Pelayan itu ketakutan setengah mati, ular itu seakan hendak melahapnya.

"Sana, aku akan melepaskanmu," kata ular tersebut. Setelah berjanji, pelayan itu lari terbirit-birit meninggalkan rumah dan tak kembali lagi. Beberapa hari kemudian, halaman rumah keluarga Dharmawangsa kembali dihuni oleh berbagai macam binatang kecil dan serangga, serta ular merah yang kembali ke guanya.

Majalah Buddhis Indonesia 
edisi ke-6 tahun 2004 halaman 25