Jumat, 13 Januari 2017

BIOLA YANG MERDU

Seorang bapak yang tinggal di desa suatu hari diajak oleh anaknya untuk tinggal di rumah anaknya di kota. Itu adalah pertama kalinya si bapak menginjakkan kaki di kota setelah sekian lama terus menerus bekerja sebagai petani demi keluarga.

Suatu hari dia diajak jalan-jalan oleh anaknya di sekitar kompleks rumah. Kemudian, bapak itu mendengar suara yang menyakitkan telinga, nadanya kecil, tinggi, dan aneh. Penasaran, dihampirinya sumber suara itu. Tampak seorang gadis kecil sedang memainkan suatu alat. 

"Alat apa itu, Nak?"


"Itu biola, Ayah."

Sambil mengangguk-angguk bapak tua mengerti bahwa biola merupakan alat yang memekakkan telinga dan suaranya jelek.

Selang dua hari, pada suatu senja bapak ini sedang duduk di teras rumah sambil menanti anaknya pulang bekerja. Sayup-sayup dia mendengar suara yang indah dan merdu. Penasaran, dia mengampiri sumber suara.

Tampaklah seorang pria muda memainkan biola dengan indah. Ternyata, pria itu ialah seorang maestro biola. Sambil mengangguk-angguk, mengertilah bapak tersebut bahwa jika biola berada di tangan yang tepat, maka suaranya sungguh merdu.

Selang beberapa hari di suatu mal, saat itu anaknya mengajaknya makan di food court. Si bapak mendengar suara yang sungguh menakjubkan. Ramai, seru, dan merdu. Penasaran, dihampirinya suara itu.


Tampak olehnya sebuah kelompok orkestra yang terdiri dari berbagai macam alat musik, termasuk sebuah biola. Mereka memainkan simponi yang sangat merdu. 

Apakah salah biolanya bila gadis kecil memainkan musik yang menyakitkan telinga? Namun, bukan pula salah gadis kecil tersebut karena memang dia sedang belajar dan belum mampu memainkannya dengan baik. 

Demikian pula dengan agama. Tidak ada agama yang salah, juga tidak ada penganutnya yang salah. Adanya hanyalah orang-orang yang belum mampu mengerti, seperti gadis kecil tadi. Jika saja semuanya bisa bersatu layaknya simponi yang indah, alangkah damainya dunia ini. 


Cerita ini disadur dari cerita yang ditulis oleh tokoh yang luar biasa, Ajahn Brahm (penulis Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar