Senin, 19 November 2012

Cerita DHARMA: Si Ular Tukang Ramal

Di suatu desa, hiduplah sebuah keluarga yang sangat terkenal, mereka adalah keluarga Dharmawangsa. Penghuni keluarga itu sangat ramah dan baik hati, terutama nyonya Dharmawangsa, wanita lanjut usia yang sangat anggun dan welas asih. Bahkan semua orang setuju mengenai hal itu. Nyonya itu sering mengingatkan kepada pelayannya, "Jangan menuang air mendidih atau air panas untuk membersihkan lantai. Ada banyak binatang kecil atau serangga yang dapat terbunuh." Nyonya itu juga selalu mengingatkan anggota keluarga untuk berhati-hati bila berjalan di jalanan, jangan sampai menabrak binatang-binatang. Nyonya itu juga tidak lupa mengingatkan cucu-cucunya untuk tidak main ketapel dan sengaja menyakiti burung-burung yang bersarang di atas pohon. Jadi, baik anggota keluarga yang tua maupun yang muda selalu hidup dalam harmoni dan mendapatkan banyak keuntungan dalam melakukan apa saja. Orang-orang yang berada di sekitar keluarga Dharmawangsa juga merasa nyaman berkumpul dengan mereka.

Pada suatu hari, Braga, putra tertua keluarga Dharmawangsa pergi ke ibukota untuk mengurus bisnis. Setelah urusannya selesai, ia kembali ke desa bersama seorang pelayan pria. Braga membawa pelayan itu untuk membantu pekerjaan di rumah bersama pelayan yang lain. Tentu saja nyonya yang baik hati, menyambut dengan senang hati kedatangan pria itu. Beberapa malam kemudian, nyonya itu bermimpi. Ia bermimpi seekor ular merah datang padanya dan berkata, "Apa kabar nyonya? Apa masih ingat kepada saya? Saya adalah tetangga Anda yang tinggal di dalam gua yang letaknya di halaman belakang rumah Anda yang luas. Sayangnya, saya harus mengungsi dari sana sejak seorang pelayan Anda menuang air mendidih untuk membersihkan taman dan menginjak-injak tanaman walaupun telah dilarang. Saya jadi sedih sekali nyonya, saya diusir dari rumah yang saya bangun sendiri. Saya bingung harus tinggal di mana," kata ular tersebut dengan wajah yang sangat sedih.


Ular tersebut memutar lilitannya ke arah pintu luar, menatap keluar kamar nyonya itu. "Padahal rumah ini sungguh luas dan indah. Saya suka sekali tinggal di gua itu nyonya, Anda juga sangat baik hati, kadang-kadang malah menuangkan makanan di depan rumah saya. Sebagai ucapan terima kasih, saya akan meramal nasib Anda, tapi saya hanya dapat meramal kehidupan Anda beberapa hari ke depan saja."

Tentu saja nyonya itu kebingungan. Ular itu melilitkan badannya dan menjulurkan kepala, seperti sedang memikirkan sesuatu layaknya para tukang ramal. Ia memasang wajah menyesal. "Pelayan pria yang putra Anda bawa beberapa hari yang lalu adalah seorang penjahat, hmm... Ia akan membawa kerugian kepada Anda. Lima hari lagi, ayahnya akan datang berkunjung untuk bersekongkol merampok rumah ini," Lalu nyonya itu terbangun dengan hati yang gundah. Ternyata lima hari kemudian, ayah pelayan itu benar-benar datang. Nyonya itu bersikap sangat berhati-hati. Ia memberikan unag kepada kedua orang itu dan mengatakan tidak membutuhkan pelayan yang terlalu banyak. Sayangnya, ayah pelayan yang terlalu serakah karena melihat rumah keluarga Dharmawangsa yang sangat mewah tidak mengijinkan anaknya untuk pergi. Dari hari ke hari nyonya itu semakin curiga, semakin banyak barang yang hilang. Suatu hari, keluarga Dharmawangsa kedatangan pejabat kecamatan. Ia membawa hadiah yang indah-indah kepada nyonya itu. Karena takut dicuri, nyonya itu menempatkan hadiah-hadiah itu di dalam kamarnya.

Ketika semua orang sudah tidur, pelayan itu membawa pisau untuk merampok nyonya tersebut. Baru saja pelayan itu mengangkat pisaunya, tiba-tiba muncul seekor ular merah yang besar. Ular itu menepis pisau di tangan pelayan itu, lalu melilit seluruh tubuhnya. Pelayan itu ketakutan setengah mati, ular itu seakan hendak melahapnya.

"Sana, aku akan melepaskanmu," kata ular tersebut. Setelah berjanji, pelayan itu lari terbirit-birit meninggalkan rumah dan tak kembali lagi. Beberapa hari kemudian, halaman rumah keluarga Dharmawangsa kembali dihuni oleh berbagai macam binatang kecil dan serangga, serta ular merah yang kembali ke guanya.

Majalah Buddhis Indonesia 
edisi ke-6 tahun 2004 halaman 25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar