Minggu, 03 Oktober 2010

Helen Keller

 
Hari paling penting yang kuingat sepanjang hidupku adalah hari ketika guruku, Anne Sullivan, datang menemuiku. Aku merasa sangat takjub saat memikirkan perbedaan yang sangat jauh antara dua kehidupan yang dihubungkan hari itu. Saat itu aku sebentar lagi akan menginjak usia tujuh tahun.

Pada sore yang penuh kejadian menarik itu, aku berdiri di teras sambil membisu dan penuh harapan. Dari isyarat ibu dan beberapa orang yang lalu-lalang di dalam rumah, secara samar aku menduga bahwa akan terjadi sesuatu yang luar biasa. Aku pun kemudian berjalan menuju pintu dan menunggu di tangga. Matahari sore menembus rimbun tanaman rambat berbau harum yang menutupi teras. Cahayanya jatuh menerpa wajahku yang mengengadah. Jemariku bergerak secara perlahan secara tidak sadar pada daun-daun dan bunga-bunga yang sudah tak asing lagi bagiku, yang baru saja menguncup menyambut indahnya musim semi di selatan. Aku tak tahu keajaiban atau kejutan apa yang akan dibawa masa depan untukku. Kemarahan dan kepahitan terus-menerus memangsaku selama berminggu-minggu. Dan kelemahan yang dalam telah menggantikan perjuangan yang penuh semangat ini.

Aku merasakan langkah kaki mendekat. Aku mengulurkan tanganku karena aku mengira itu langkah ibuku. Seseorang meraih tanganku. Aku didekap erat olehnya, yang telah datang untuk menyingkap segala sesuatunya buatku. Dan, lebih dari segalanya, ia mengungkapkan cinta untukku.

Pagi itu, dia membimbingku ke ruangannya dan memberiku boneka. Setelah aku bermain-main dengan boneka itu selama beberapa menit, Nona Sullivan perlahan-lahan mengeja kata “d-o-l-l” (boneka) di tanganku. Aku langsung tertarik dengan permainan jari ini dan berusaha menirukannya. Ketika akhirnya berhasil membuat huruf-huruf dengan benar, aku tersipu-sipu karena rasa senang dan bangga. Aku berlari ke lantai bawah dan memegang tangan ibu, lalu membuat huruf-huruf yang menyusun kata “d-o-l-l”. Aku tidak tahu bahwa aku tengah mengeja kata atau bahwa kata-kata itu ada. Aku semata-mata hanya mengerakkan jari-jariku bagaikan seekor monyet. Pada hari-hari berikutnya, aku belajar mengeja banyak kata, diantaranya kata pin (peniti), hat (topi), cup (cangkir), sit (duduk), stand (berdiri), dan walk (berjalan), dengan cara yang tidak bisa aku pahami. Tetapi setelah guruku bersamaku selama beberapa minggu, aku baru mengerti bahwa segala sesuatu punya nama.

Suatu hari, ketika aku sedang bermain dengan boneka baruku, Nona Sullivan menaruh boneka besarku yang terbuat dari kain perca di atas pangkuanku juga. Dia mengeja kata “d-o-l-l” dan berusaha membuatku mengerti bahwa keduanya bisa disebut “d-o-l-l”. Hari sebelumnya, kami berjuang soal kata “m-u-g” dan “w-a-t-e-r”. Nona Sullivan telah berusaha memberi kesan padaku bahwa “m-u-g” adalaha mug dan “w-a-t-e-r” adalah water, tetapi aku bersikeras bahwa aku masih bingung tentang keduanya. Dalam keadaan putus asa, dia mengganti pokok pembicaraan untuk sementara waktu, dan baru akan mengulanginya pada kesempatan pertama yang ada.

Aku menjadi tak sabar dengan upayanya yang berulang-ulang. Lalu aku merebut boneka baru tersebut dan membantingnya ke lantai. Aku senang sekali ketika merasakan kepingan boneka yang pecah itu di kakiku. Tak ada kesedihan atau penyesalan yang kurasakan setelah kemarahan yang meledak-ledak itu. Aku tak menyayangi boneka itu. Dalam duniaku yang gelap dan sunyi, tak ada sentimen kuat atau kelembutan. Aku merasa guruku menyapu pecah-pecahan itu ke sisi perapian, dan aku merasa puas bahwa penyebab ketidaknyamananku telah dimusnahkan. Dia membawakan topku kepadaku, dan aku tahu bahwa aku akan keluar menikmati hangatnya matahari. Pikiran ini, jika perasaan tanpa kata bisa disebut pikiran, membuatku melompat-lompat kegirangan.

Kami menelusuri jalan setapak menuju sumur rumah, karena tertarik dengan harumnya tanaman yang menutupinya. Seseorang sedang memompa air dan guruku meletakkan tangaku di bawah saluran keluarnya air. Saat aku merasakan sejuknya semburan air di tanganku, dia mengeja kata water di tanganku, pertama dengan pelan, lalu dengan cepat. Aku berdiri terpaku, seluruh perhatianku terpusat pada perasaan di jariku. Tiba-tiba aku merasakan kesadaran yang samar-samar tentang sesuatu yang menyebalkan, keharuan akan pemikiran yang kembali. Dan entah bagaiaman misteri bahasa lalu terungkap bagiku. Aku tahu bahwa “w-a-t-e-r” berarti sesuatu yang sejuk yang mengalir di tanganku. Kata yang hidup itu membangkitkan jiwaku, memberinya cahaya, harapan, kegembiraan, dan membebaskannya! Memang benar masih banyak hambatan, tetapi hambatan akan dapat dilenyapkan jika tiba waktunya.

Aku meninggalkan sumur rumah dengan semangat untuk belajar. Segala sesuatu yang punya nama dan setiap nama memberikan gagasan baru. Sekembalinya kami ke rumah, setiap benda yang kusentuh tampak gemetar dengan kehidupan. Itu karena aku melihat segala sesuatu dengan pandangan baru dan aneh, yang telah mendatangiku. Saat memasuki pintu, aku teringat dengan boneka yang telah aku hancurkan. Aku merasakan jalan menuju perapian dan memungut kepingan-kepingan itu. Aku berusaha menyatukannya, namun sia-sia. Lalu air mata pun mulai membasahi pipiku, karena aku mnyadari apa yang telah kulakukan. Untuk pertama kalinya aku merasa menyesal dan sedih.

Aku belajar banyak kata pada hari ini. Aku tak ingat kata apa yang kupelajari. Yang benar-benar kuingat di antara kata-kata itu adalah kata ibu, ayah, saudara perempuan, dan guru, kata-kata yang membuat duniaku mekar, “bagaikan lili liar penuh bunga”. Sulit menemukan anak yang lebih bahagia daripada diriku ketika aku berbaring di ranjang kecilku di penghujung hari yang sangat menyenangkan itu. Aku merasakan kegembiraan pada hari itu. Untuk pertama kalinya aku merindukan datangnya hari esok. 
Video: Helen Keller: In Her Story (clip)

SUMBER : THE STORY OF MY LIFE
PENULIS : Helen Keller




Materi SDM Pelatnas III Sekber PMVBI (Pemuda Buddhayana) Wil. A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar